ANALISA HUBUNGAN DPR DAN DPD DALAM LEGISLASI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)

Dr. Intsiawati Ayus, SH., MH.
  1. Konstruksi Fungsi Legislasi DPD Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012

Apabila merekonstruksi Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan dikaitkan dengan proses legislasi yang ada maka analisis kemungkinkan proses legislasi sebagai implikasi Putusan MK dengan membagi berdasarkan proses legislasi yang sesuai dengan kewenangan DPD yaitu prakarsa pengajuan RUU dan pembahasan RUU dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. Prakarsa Pengajuan Undang-Undang

Dalam format legislasi Indonesia pasca amandemen UUD 1945 yang diharapkan dapat memperkukuh sistem pemerintahan presidensiil yang stabil dan demokratis, namun format tersebut belum mencermimkan sistem presidensiil yang diharapkan karena unsur parlementarisme yang masih melekat didalamnya. Unsur parlementarisme tersebut terlihat dengan pelibatan Presiden dalam proses legislasi di Indonesia.  MK-pun dalam Putusannya telah menegaskan bahwa pembahasan RUU dilakukan tripartit dalam hal RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD.

Hal ini terkait dengan UUD 1945 yang tidak merumuskan sempurna konstruksi perwakilan di Indonesia yang menyebabkan kedudukan DPD sangat lemah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian diganti dengan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tahun 2009 dan diperbaharui dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 seharusnya menjadi “payung hukum” yang mangatur susunan dan kedudukan lembaga parlemen, muatan UU MD3 seharusnya dikonstruksikan untuk memodifikasi ketentuan yang terkait dengan kedudukan dan kewenangan dua kamar dalam parlemen Indonesia ini ketika menalankan fungsi legislasi. Terlebih Putusan MK Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 diputuskan sebelum UU MD3 2014 ditetapkan.

Dalam praktik legislasi di Indonesia prakarsa pengajuan undang-undang ini dilaksanakan melalui Program Legislasi Naisonal (Prolegnas). Penyusunan Prolegnas sebagai instrument perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan putusan MK tersebut, telah ditetapkan mekanisme baru dalam penyusunan Prolegnas yaitu dilakukan bersama tiga lembaga yaitu DPR, Presiden, dan DPD (Tripartit). Dalam mekanisme ini, pembahasan Prolegnas di internal DPR diselesaikan terlebih dahulu oleh fraksi-fraksi dan komisi DPR.

Putusan MK tersebut telah mengubah paradigma proses pembuatan undang-undang (law making process) yang semakin efisien (sederhana/tidak berbelit-belit). Efisiensi proses legislasi tersebut dikarenakan dengan putusan MK tersebut DIM hanya cukup dibuat oleh DPR sebagai satu lembaga dan tidak dibuat oleh masing-masing fraksi yang saat ini saja ada 9 (sembilan) fraksi. Dengan demikian, khusus pembahasan RUU yang menjadi mandat konstitusi DPD hanya dilakukan 3 (tiga) lembaga yaitu DPR, Presiden, dan DPD. Dalam hal keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas yang berkaitan dengan tugas dan wewenang DPD, MK menilai bahwa UU P3 yang selama ini tidak melibatkan DPD dalam penyusunan Prolegnas adalah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD 1945. Keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”

Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan Putusan MK tersebut, telah ditetapkan mekanisme baru dalam penyusunan Prolegnas yaitu dilakukan bersama tiga lembaga yaitu DPR, Presiden, dan DPD (tripartit).

Dalam Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 telah meniadakan kewenangan DPD untuk dapat mengajukan RUU, baik didalam maupun diluar Prolegnas. Berdasarkan Putusan MK tersebut, telah ditetapkan mekanisme baru dalam penyusunan Prolegnas yaitu dilakukan bersama tiga lembaga yaitu DPR, Presiden, dan DPD (tripartit). Dalam mekanisme ini, pembahasan Prolegnas di internal DPR diselesaikan terlebih dahulu oleh fraksi-fraksi dan komisi DPR.

MK dalam hal ini telah memberikan penafsiran hukum yang menegaskan bahwa kata “dapat” merupakan constitutional choice atau pilihan konstitusi yang diberikan kepada DPD. Artinya, apabila DPD menempuh pilihan mengajukan prakarsa RUU, maka pilihan yang ditempuh mengandung sifat imperatif. Tidak dapat dimodifikasi tidak dapat direduksi, dibatasi, disimpangi, apalagi dinegasi oleh DPR dan Pemerintah.

Sebagai representative assemblies, maka kedua kamar dalam parlemen (DPR dan DPD) memiliki kewenangan utama dalam pengusulan UU. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa DPD hanya memiliki kewenangan mengusulkan RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Walaupun Indonesia merupakan negara kesatuan akan tetapi dengan kemajemukan karakteristik sumber daya manusia dan sumber daya alam di tiap daerah, ditambah lagi dengan pengaturannya otonomi daerah di Indonesia yang bersifat federalistis, menyebabkan kepentingan daerah harus lebih diperhatikan dengan memperkuat DPD sebagai lembaga perwakilan daerah.

Secara spesifik, bentuk penetapan Prolegnas tidak dimuat dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. UUD 1945 tidak menyebut konsep Prolegnas secara eksplisit melainkan hanya dengan merujuk suatu terminologi ‘rancangan undang-undang’. Perihal RUU tersebut diatur dalam Pasal 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 22 D, dan Pasal 23 UUD 1945.

Prolegnas merupakan instrumen teknis dari tahap perencanaan pembuatan undang-undang. Secara umum, ada lima tahap dalam penyusunan Prolegnas:

  1. Tahap mengumpulkan masukan: DPR, DPD dan Pemerintah/Presiden secara terpisah membuat daftar RUU dari pihak-pihak lembaga negara.
  2. Tahap penyaringan masukan: masukan RUU tersebut disaring oleh DPR, DPD, dan Pemerintah/Presiden.
  3. Tahap penetapan awal: DPR, DPD, dan Pemerintah/Presiden menetapkan daftar RUU.
  4. Tahap pembahasan bersama: DPR, DPD dan Pemerintah/Presiden membahas daftar RUU bersama dalam rangka menyusun Prolegnas.
  5. Tahap penetapan Prolegnas melalui suatu Keputusan DPR: DPR menetapkan RUU yang masuk dalam Prolegnas sebagaimana kesepakatan di dalam forum pembahasan bersama antara DPR, DPD, dan Pemerintah/Presiden.

 

Tahapan tersebut secara formil memang menggambarkan bagaimana pembahasan tripartit dilaksanakan, namun secara materiil substansial dalam pembahasan Prolegnas masih ditemui masalah. Penentuan jika terjadi perbedaan mengenai apakah suatu RUU berkaitan dengan kepentingan daerah, sehingga menjadi kewenangan DPD atau tidak, atau bagaimana RUU itu menjadi kewenangan DPD. Hal ini dikarenakan DPD tidak diberikan voting right (hak menolak). Dalam hal DPD memilki kewenangan mengusulkan, mengubah, dan menolak (hak veto) RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah, maka hal selanjutnya harus diatur penyelesaian untuk menentukan jika terjadi perbedaan mengenai suatu RUU berkaitan dengan kepentingan darah sehingga menjadi kewenangan DPD.

Dalam praktiknya justru terjadi sebaliknya, Prolegnas dapat disimpangi dalam pembuatan undang-undang dengan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) UU P3, yakni untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam serta keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Dengan demikian, Prolegnas merupakan suatu instrumen perencanaan pembuatan undang-undang yang utama selain bahwa suatu RUU dapat diteruskan untuk dijadikan undang-undang apabila terkait dengan pengurusan keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam serta keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU. Perubahan-perubahan dalam Prolegnas seringkali hanya dibahas antara DPR dan Pemerintah tanpa melibatkan DPD.

Putusan MK sebenarnya telah meletakkan dasar demokrasi bagi pelaksanaan legislasi di Indonesia dengan mengakomodasi kepentingan daerah dalam setiap tahapan pembahasan RUU sebelum diambil putusan oleh DPR dan Presiden. Namun dalam perkembanganya, Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 membuka permasalahan legislasi di Indonesia. Proses legislasi di Indonesia dalam rangka melaksanakan UUD 1945 seringkali hanya berisi pokok-pokok atau disebut sebagai ’open textual document’. Akibatnya, UUD 1945 membuka celah terjadinya ’open legislative policy’. Yang harus dihindarkan adalah adanya open legislative policy yang tidak sejalan dengan pengertian, tujuan serta maksud UUD 1945. Dalam praktik, kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang untuk menentukan open legislative policy terkendala dengan ketentuan-ketentuan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam UU MD3 dan UU P3. Itulah yang tejadi dengan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang tidak diterjemahkan lebih lanjut dalam UU MD3.

Dalam kerangka itu, pertentangan kepentingan DPR dan DPD dalam proses inisiasi, pembahasan dan penetapan RUU menjadi UU tentu saja akan muncul kembali seperti sebelum adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, dalam proses legislasi sebagaimana telah ditetapkan oleh MK, maka terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian, karena sampai saat ini hal tersebut masih menjadi conflict of interest antara DPR dan DPD, yaitu:

1) Penentuan apakah RUU merupakan kewenangan DPD atau tidak.

MK pada putusannya Nomor 92/PUU-X/2012 tidak mencantumkan sejauhmana kewenangan substansi legislasi DPD. Penentuan jika terjadi perbedaan mengenai apakah suatu RUU berkaitan dengan kepentingan daerah, sehingga menjadi kewenangan DPD tidak dibahas lebih lanjut pada waktu pembahasan amandemen UUD 1945.

Walaupun DPD tidak memiliki kewenangan mengubah (hak amandemen) dan hak menolak (voting right), akan tetapi harus diatur mengenai penentuan jika terjadi perbedaan mengenai apakah suatu RUU berkaitan dengan kepentingan daerah sehingga menjadi kewenangan DPD atau tidak. Dalam Konstitusi RIS, baik Senat, DPR, maupun Pemerintah dapat menentukan apakah Usulan RUU yang berasal dari Senat mengenai daerah bagian, bagian-bagiannya, dan mengenai hubungan antara RIS dan daerah-daerah kepada DPR. Dalam UUD Negara Federal Jerman diatur bahwa Council of State (Bundesrat) setelah menerima RUU, dapat meminta dibentuknya komisi bersama untuk membahas RUU, yang beranggotakan anggota Federal Parliament (Bundestag) dan anggota Council of State (Bundesrat). Jika persetujuan Council of State (Bundesrat) diperlukan agar RUU menjadi UU, maka Pemerintah dan Federal Parliament (Bundestag) dapat memanggil rapat komisi tersebut. Jika komisi bersama tersebut menyetujui, maka RUU menjadi UU, tetapi jika komisi mengusulkan perubahan, maka Federal Parliament (Bundestag) kembali mengadakan penghitungan suara bagi persetujuan terhadap RUU tersebut.  

Hal yang perlu ditelaah adalah apakah perbedaan pendapat DPR dan DPD mengenai apakah sebuah RUU berkaitan dengan kepentingan daerah, sehingga merupakan kewenangan DPD merupakan sengketa kewenangan antarlembaga negara yang merupakan kewenangan MK untuk memutuskan.

Dalam Konstitusi RIS hanya diatur bahwa baik Senat, DPR, maupun Pemerintah dapat menentukan apakah Usulan RUU yang berasal dari Senat mengenai daerah bagian, bagian-bagiannya, dan mengenai hubungan antara RIS dan daerah-daerah kepada DPR, akan tetapi tidak diatur bagaimana jika terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah RUU tersebut mengenai daerah bagian, bagian-bagiannya, dan mengenai hubungan antara RIS dan daerah-daerah kepada DPR yang merupakan kewenangan Senat. Di negara Federal Jerman, penentu apabila terjadi hal yang demikian antara Bundestag dan Bundesrat adalah Presiden yang akan memberi keputusan berupa mengesahkan menjadi UU atau dalam kasus yang jarang, Presiden Federal tidak memberikan keputusan sehingga RUU menjadi tidak dibahas lagi.  

2) Tidak diatur lebih detil jika terjadi pembahasan RUU antara DPR dengan DPD.

Pembahasan RUU dapat terjadi dalam 2 bentuk, yaitu pembahasan di masing-masing kamar dan pembahasan bersama. Dalam pembahasan RUU, sangat perlu diatur mengenai mekanisme pembahasan, hak masing-masing kamar, dan penentu keputusan. Baik UU MD3 dan UU P3 tidak mengatur bagaimana hubungan DPR dan DPD dalam pembahasan sebuah RUU.

DPD melaksanakan fungsi legislasi bersama DPR dan Presiden. Hal ini karena “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden” (anak kalimat pertama pada Pasal 20 ayat (2) UUD 1945), sedangkan DPD dapat mengajukan RUU bidang tertentu dan ikut membahas RUU bidang tertentu. Namun keputusan untuk menghasilkan “UU tertentu” (Pasal 22D UUD945) ditentukan oleh tiga macam penafsiran konstitusi.

Pertama, pemahaman bahwa UUD 1945 pada dasarnya menganut pola parlementer dalam proses legislasi hingga pengambilan keputusan akhir untuk itu. Proses legislasi menggunakan model parlementer karena legislasi merupakan “three-chamber” legislative process, yaitu melibatkan “kamar” presiden-eksekutif dan dua kamar parlemen (DPR dan DPD) untuk RUU tertentu (Pasal 22D UUD 1945). Kedua, secara tekstual dan executive heavy (atau bahkan otoritarian) yang menjadikan keputusan untuk menghasilkan UU hanya sebagai domain persetujuan bersama Presiden dan DPR (anak kalimat kedua pada Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Akibatnya, bobot suara Presiden mengungguli bobot suara dua lembaga perwakilan (DPR dan DPD). Karena Presiden adalah eksekutif yang didukung koalisi di DPR maka keputusan menghasilkan legislasi seharusnya jadi domain lembaga perwakilan (DPR-DPD) bersama presiden-eksekutif dengan bobot suara sama di antara ketiga lembaga. Ketiga, tafsir legislasi dalam presidensialisme di negara kesatuan. Ciri pokok presidensialisme adalah keterpisahan eksekutif dari legislatif sehingga bobot suara lembaga perwakilan pada model asymmetric bicameralism, dengan DPD sebagai pelembagaan keterwakilan daerah-daerah provinsi (Pasal 22C UUD 1945), seharusnya dimenangkan daripada bobot suara eksekutif; lebih-lebih apabila legislasi itu mengenai kepentingan daerah-daerah (Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945) yang merupakan faktor agregat pada negara kesatuan.

  1. Konsep Hubungan DPR dan DPD Dalam Legislasi
  2. Belum Diakomodasinya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 Dalam Proses Legislasi

Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengabulkan sebagian permohonan judicial review UU Nomor 27 Tahun 2009 dan UU 12 Tahun 2011 atas UUD NRI 1945. MK menyatakan beberapa Pasal yang terdapat di dalam kedua UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada DPD telah direduksi oleh kedua UU tersebut. Sehingga ketentuan di dalam Pasal yang dinyatakan bertentangan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan MK dimaksud menyangkut lima pokok permasalahan kewenangan DPD RI dengan penjelasan, yaitu:

  1. DPD terlibat dalam pembuatan program legislasi nasional (prolegnas);
  2. DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana hal nya atau bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD 1945;
  4. Pembahasan UU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) bersifat tiga pihak (tripartit), yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; dan
  5. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik yang diminta maupun tidak.

 

Apabila diamati lebih lanjut, perubahan-perubahan pada UU MD3 melalui UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) maupun UU P3 melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih belum menjelaskan detail bagaimana desain legislasi sebagaimana yang telah diputuskan oleh MK.

Dalam kasus perubahan UU P3 terlihat dilakukan secara sepotong-potong, parsial dan tidak menyelesaikan permasalahan implementasi Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang pada dasarnya memiliki persoalan terkait prosedur legislasi mulai dari perencanaan legislasi, pengusulan RUU, dan pembahasan. Ada 3 (tiga) poin perubahan yang dilakukan DPR melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 tersebut, yaitu:

Pertama, ketentuan mengenai peninjauan dan pemantauan undang-undang yang dilakukan DPR, pemerintah dan/atau DPD. Kedua, yang masuk dalam Revisi UU tersebut adalah mengenai sistem pembahasan RUU secara berkelanjutan atau disebut carry over. Poin terakhir yang masuk dalam revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah ketentuan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan perundang-undangan.

Sebagaimana disampaikan diatas, perubahan yang dilakukan terhadap UU P3 melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 tersebut masih terdapat permasalahan karena tidak dimuatnya beberapa Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, yaitu:

  1. Perencanaan Legislasi melalui Prolegnas

Dalam hal penyusunan Prolegnas, menurut Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Norma Undang-Undang yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan Prolegas adalah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD 1945.

Terkait proses penyusunan Prolegnas ini, UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3 telah menindaklanjuti melalui perubahan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (4) yang berbunyi:  

Pasal 20

(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.

(2) …..

(3) ……

(4) Sebelum menyusun dan menetapkan Prolegnas jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPR, DPD, dan Pemerintah melakukan evaluasi terhadap Prolegnas jangka menengah masa keanggotaan DPR sebelumnya.

(5) ……..

(6) ……..

Ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (4) adalah bentuk dari pembahasan tripartit antara DPR-DPD-Pemerintah dalam penyusunan Prolegnas. Namun demikian masih ada beberapa petitum Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 terkait dengan Prolegnas yang belum ditindaklanjuti dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3, antara lain:

  1. Pasal 18 huruf g dengan tidak menambahkan frasa “rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD”  
  2. Pasal 22 ayat (1) dengan tidak menambahkan kata (dalam cetak tebal): “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR”; dan
  3. Pasal 23 ayat (2) dengan tidak menambahkan kata (dalam cetak tebal): “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
  4. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
  5. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;”

 

  1. Pengajuan RUU

Dalam hal proses pengajuan RUU, berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. MK menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.  Terkait proses pengajuan RUU ini, UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3 tidak menindaklanjuti berupa:

  1. Pasal 43 ayat (1) dengan tidak menambahkan kata “Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, DPD, atau Presiden”;
  2. Pasal 48 ayat (1) dengan tidak menambahkan frasa: “Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden dan harus disertai Naskah Akademik”;
  3. Pasal 49 ayat (1) dengan tidak menambahkan frasa: “Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;  

Dalam hal ini justru perubahan dilakukan pada ayat (3) yang oleh MK sudah dinyatakan konstitusional dengan menambahkan frasa “atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan”; dan

  1. Pasal 50 ayat (1) tidak menambahkan frasa “Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”.  
  2. Dalam hal pembahasan RUU, menurut Putusan MK Nomor 92/ PUU-X/2012 Pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi. DPR dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan.  

 

  1. Pembahasan RUU

MK dalam putusan Nomor 92/PUU-X/2012 memutuskan bahwa DPD hanya berwenang ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dan tidak ikut serta pada pemberian persetujuan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat paripurna DPR pembahasan Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut membahas dan memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. Persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa hanya DPR dan Presidenlah yang memiliki hak memberi persetujuan atas semua RUU. Kewenangan DPD yang demikian, sejalan dengan kehendak awal (original intent) pada saat pembahasan pembentukan DPD pada Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun 2000 sampai tahun 2001. Dengan demikian, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang.

Terkait proses pembahasan RUU ini, UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3 tidak menindaklanjuti putusan MK berupa:

  1. Pasal 68 ayat (2) dengan tidak menambahkan frasa: “Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
  2. DPR memberikan penjelasan dan presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;
  3. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR;
  4. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden;
  5. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden;
  6. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undang- undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPD”;  
  7. Pasal 68 ayat (3) dengan tidak menambahkan frasa: “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
  8. Presiden dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;
  9. DPR dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden;
  10. DPR dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD yang berkaitan dengan kewenangan DPD”;  
  11. Pasal 70 ayat (1) dengan tidak menambahkan frasa: “Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan oleh DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;  
  12. Pasal 70 ayat (2) dengan tidak menambahkan frasa: ”Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;  
  13. Pasal 71 ayat (3) dengan tidak menambahkan frasa: ”Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
  14. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD dalam hal Rancangan Undang- Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;  
  15. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
  16. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.”
  17. Penyebarluasan Undang-Undang

 

Berangkat dari fakta-fakta diatas, para pembentuk undang-undang memang belum sepenuhnya mengimplementasikan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, ini menandakan bahwa dalam konstruksi legislasi, yang dirumuskan oleh MK masih belum dapat dilaksanakan.

Mengikuti pandangan Lyman Tower S  bahwa indikator demokrasi adalah 1) warga negara terlibat dalam proses pengambilan kebijakan politik; 2) kedudukan setara semua warga negara dalam pemerintahan; 3) kebebasan diberikan kepada semua warga negara tanpa terkecuali; 4) sistem politik yang mencerminkan representasi semua rakyat; dan 5) sistem pemilu yang jujur dan adil maka kiranya dapat dikemukakan secara singkat hal-hal terkait dengan perspektf demokrasi dalam legislasi yang terjadi Indonesia saat ini sebagai berikut:

Pertama, Legislasi yang terjadi saat ini menggambarkan kekuatan-kekuatan yang sedang menggenggam kemudi kekuasaan, arus ide yang dominan, dan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang dikandungnya. Legislasi, dengan begitu, tak bisa mengelak dari konteks yakni bagian dari pergulatan politik dalam suatu ruang dan waktu yang spesifik. Pergulatan politik tersebut hendaknya tetap didasarkan pada konstruksi demokrasi yang mengedepankan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Dalam prinsip tersebut diperlukan lembaga yang mampu mengakomadasi kepentingan rakyat dan kepentingan ruang secara bersama-sama. Oleh karena itu dalam prinsip demokrasi yang lebih substansi kehadiran DPR dan DPD dalam tautan legislasi sangat penting. Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah meletakkan dasar demokrasi tersebut, meskipun sampai adanya perubahan UU MD3 melalui UU Nomor 17 Tahun 2014  dan perubahan UU P3 beberapa substansi dari Putusan MK tersebut tidak dimasukkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.

Kedua, merujuk pada pandangan pandangan Satjipto Rahardjo bahwa proses legislasi merupakan proses yang relatif sangat penting sebagaimana relatif pentingnya melihat proses implementasi dan enforcement dari hukum itu sendiri. Sebab, proses-proses yang terjadi dalam pembentukan hukum bagaimana pun juga akan ikut mempengaruhi proses implementasi dan penegakan hukumnya. Kekeliruan dalam proses pembentukan hukum bisa berakibat fatal, sebab dari proses pembentukan hukum yang keliru tersebut bisa melahirkan produk hukum yang bersifat kriminogen dalam pergaulan bersama masyarakat. Dapat kiranya hal tersebut dikaitkan dengan tujuan dibentuknya UU P3 sendiri yaitu sebagai pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, oleh karena itu seharusnya pedoman tersebut dibuat dengan dasar untuk membentuk undang-undang di Indonesia yang dapat menjamin keadilan bagi semua. Demokrasi dalam perspektif manapun baik dari perspektif barat maupun dalam perspektif Islam tentunya mengharapkan bahwa paham kedaulatan rakyat benar-benar dapat diejawantahkan dalam kebijakan.

Penggunaan indikator demokrasi untuk mengukur legislasi yang sangat “Barat Sentris” tersebut tentu saja tidak bisa dihindarkan, sebab pada dasarnya kajian-kajian demokrasi bermula dari Barat yang terus berkembang hingga kini. Bahkan konsep dan teori politik modern yang mengkaji hubungan antara demokrasi dan legislasi yang pada akhir-akhir ini muncul pun tidak lepas dari hasil “kreativitas intelektual orang Barat”. Namun sebagaimana yang disampaikan pada awal, penulis menyampaikan bahwa dalam filosofi Indonesia faham demokrasi dan kedaulatan rakyat ini telah menyatu dalam tata nilai berbangsa dan bernegara melalui Pancasila.

Ketiga, Penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan suatu pekerjaan yang dikatakan rumit dan tidak mudah karena keragaman geografis, etnografis, adanya keharusan untuk selalu menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar acuan pokok. Kompleksitas ini akan terus mengemuka karena mulai timbulnya kesadaran bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan membutuhkan juga pemikiran dari masyarakat yang telah mempunyai beberapa kebiasaan sendiri yang sudah menjadi kebiasaan lokal dan hukum bagi masyarakat setempat atau lokal.

Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, biasanya negara dengan hegemoninya mempunyai kehendak untuk memberlakukan hukum yang sama bagi setiap warga negaranya. Penyusunan peraturan ini seharusnya memperhatikan pula faktor geografis, struktur sosial, keanekaragaman budaya, kultur lokal dan berbagai faktor sosial lainnya yang melingkupi bekerjanya hukum. Melalui pengamatan secara empirik dapat diketahui bahwa proses pembangunan hukum nasional yang seringkali menghasilkan produk hukum yang tidak mudah untuk diimplementasikan bagi komunitas Indonesia yang jauh beragam. Problem regulasi di Indonesia yang terkadang membuat kualitas regulasi yang masih buruk dari segi konten dan substansi adalah diakibatkan kuantitas regulasi yang tidak terkontrol.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya undang-undang yang dimohonkan judisial review ke MK. Sebagai contoh pada tahun 2017, terdapat 131 putusan MK terkait pengujian undang-undang, tahun 2018 terdapat 114 putusan MK terkait pengujian undang-undang, tahun 2019 terdapat 92 putusan MK terkait pengujian undang-undang, dan pada tahun 2020 sampai Maret 2020 terdapat 16 putusan MK terkait pengujian undang-undang.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, menjadi penting untuk kembali mereformulasikan proses legislasi dalam perspektif demokrasi. Menguatnya peran lembaga perwakilan baik DPR dan DPD akan dapat menguatkan prosedur legislasi yang lebih demokratis.

Dengan konstruksi yang disampaikan diatas, maka hal itu membenarkan teori yang dibangun oleh berbagai ahli baik yang berasal dari kalangan hukum maupun ahli politik yang pandangannya banyak disitir sekaligus jadi bagian dari asumsi dasar dalam penelitian ini, seperti Moh. Mahfud MD yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah produk dari proses politik, Ann Seidman et.al. yang juga menegaskan bahwa suatu hukum (undang-undang) tidak akan ada tanpa adanya suatu keputusan politik. Demikian juga Afan Gaffar yang menyatakan bahwa adanya hukum karena adanya kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lainnya.  

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa NKRI memerlukan kamar kedua yakni DPD karena dua alasan utama, yakni pertama, kamar kedua (DPD) dipergunakan sebagai penyeimbang antara pemerintah pusat dan daerah, serta penguatan demokrasi yang memerlukan partisipasi tidak hanya berdasarkan pandangan politik melainkan partisipasi rakyat daerah dalam pengembilan keputusan politik nasional. Kedua; kamar kedua seperti DPD diperlukan untuk memperkuat unitarisme, khususnya dalam hal menyatukan daerah-daerah terkait dengan persoalan kebhinekaan.

Sebagai kamar kedua dan mewakili kepentingan daerah di forum pengambilan keputusan politik nasional, sebenarnya DPD menjalankan aktifitas oposisi konstruktif, artinya DPD menjadi lembaga konstitusional yang melakukan pengkritisan terhadap berbagai arah dan kebijakan nasional dengan melandaskan pengkritisan itu kepada kepentingan daerah, sehingga gerak politik opisisi yang dilakukan oleh DPD secara diametral berhadap-hadapan dengan kepentingan politik di lingkungan DPD maupun pemerintah. Oposisi konstruktif yang dilakukan DPD bersifat solutif, artinya DPD tidak hanya sekedar melakukan kritik tanpa solusi, melainkan ia memberikan pula jalan keluar terutama dalam kerangka mengharmoniskan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh sebab itu, sebenarnya keberadaan DPD tidak perlu dicurigai akan mengurangi porsi DPR dalam pengambilan keputusan politik melainkan seharusnya mulai diapresiasi untuk mengurangi ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah.

  1. Merumuskan Bikameral Yang Efektif

Sistem kamar dalam lembaga perwakilan baik yang berbentuk unicameral, bikameral maupun tricameral efektifitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan antarkamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen seperti fungsi legislasi, anggaran, representasi, pengawasan, dan rekrutmen politik. Dalam implementasinya, perimbangan dalam fungsi legislasi memegang peran yang utama dalam prosedur legislasi yang dijalankan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Carl J Friedrich yang mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat (representative assemblies), maka legislasi adalah fungsi utamanya.

Dalam pola dua kamar sebagaimana lembaga perwakilan di Indonesia, perimbangan dalam pelaksanaan fungsi legislasi dimaksudkan untuk melaksanakan mekanisme checks and balances antarkamar dalam lembaga perwakilan. Menurut Carl J Friedrich, parlemen juga sebagai majelis tempat dilakukannya pembahasan (deliberative assemblies) merupakan lembaga yang berusaha untuk memecahkan masalah dan aktivitas masyarakat.

Dengan adanya dua kamar di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila majelis tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan undang-undang memiliki komposisi berbeda dengan majelis rendah.

Sistem ideal tentunya dapat dilihat dalam Conggress Amerika Serikat, House Representative (DPR) dan Senate mempunyai kesempatan yang sama untuk mengecek semua RUU sebelum disampaikan kepada Presiden. Dengan demikian, dalam fungsi legislasi, Senat mempunyai wewenang yang seimbang dengan DPR.

Jika dibandingkan dengan di Jerman, pembentukan undang-undang di Jerman melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu: The Federal Government, Bundestag, dan Bundesrat. Federal Government paling sering mengajukan rancangan undang-undang dan sekitar dua pertiga undang-undang di Jerman merupakan inisiatif dari Federal Government. Bundesrat juga dapat berinisiatif dalam mengajukan undang-undang. Suatu undang-undang harus mendapat persetujuan dari Bundesrat sebagai perwakilan dari 16 Negara Bagian di Jerman. Inisiatif undang-undang yang berasal dari Bundesrat harus terlebih dahulu disampaikan kepada Pemerintah Pusat Jerman untuk diteruskan kepada Bundestag. Jika inisiatif berasal dari Pemerintah Pusat harus terlebih dahulu dikaji oleh Bundesrat yang selanjutnya diajukan kepada Bundesrat.

Pola yang agak berbeda terjadi dalam penyusunan UU di Belanda. Rancangan UU harus dikaji secara mendalam dulu oleh Raad van Staten sebelum dibahas. Raad van Staten ibarat lembaga DPA di Indonesia di masa berlakunya UUD 1945 asli dulu yang diberi otoritas untuk memberikan pertimbangan. Pemerintah juga menyampaikan RUU kepada Staten General sebelum diproses lebih lanjut, termasuk juga untuk perubahan UU harus menempuh prosedur yang sama. Pasal 73 ayat (1) Nederlands Grondwet mengatur bahwa jika jika sebuah RUU akan disahkan terlebih dahulu harus dikonsultasikan kepada Staten General atau divisi dari Staten General tersebut. Staten General merupakan parlemen Belanda yang keanggotaannya berasal dari perwakilan seluruh warga negara Belanda yang strukturnya terdiri dari Eerste Kamer dan Tweede Kamer. Anggota-anggota dari Tweede Kamer dipilih langsung oleh rakyat Belanda, sedangkan anggota-anggota dari Eerste Kamer dipilih oleh Negara-negara Bagian.

Dalam perspektif Indonesia, hubungan antarkamar dalam perwakilan di Indonesia tidak mungkin menciptakan dua kama yang efektif. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan.

Kewenangan legislasi DPR tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang terjadi dalam perubahan pertama, kemudian telah dilanjutkan dengan diadopsinya Pasal 22D UUD 1945 tentang DPD dalam perubahan ketiga, yang juga memiliki kewenangan  legislasi. Ketika amandemen UUD 1945 terjadi secara bertahap, dan satu konsep atau norma yang dirumuskan dimasukkan kedalam struktur konstitusi yang sudah terbentuk, maka makna awal yang diberi kepada norma tertentu yang mengandung konsep tertentu, akan menerima pengaruh dari seluruh sistem dalam konstitusi ketika dia memasuki struktur konstitusi. Norma baru harus mengalami harmonisasi dengan keseluruhan struktur dan sistem dalam konstitusi, tetapi sebaliknya juga norma yang sudah ada sebelumnya dalam konstitusi sebelum perubahan, terutama yang berkaitan dengan konsepsi tertentu, akan menerima pengaruh.

Karenanya banyak ahli yang berpandangan bahwa adanya ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 telah menjadi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membentuk undang-undang hanya ada di tangan DPR.

Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 memberikan tafsir tambahan terkait prosedur Legislasi yang menegaskan DPD melaksanakan fungsi legislasi bersama DPR dan Presiden. Hal ini karena ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden”, sedangkan ketentuan Pasal 22D UUD 1945 menyatakan bawha DPD dapat mengajukan RUU bidang tertentu dan ikut membahas RUU bidang tertentu. Namun keputusan untuk menghasilkan “UU tertentu” ditentukan oleh tiga macam penafsiran konstitusi.

Dua tafsir pertama disandarkan kepada pemahaman bahwa UUD 1945 pada dasarnya menganut pola parlementer dalam proses legislasi hingga pengambilan keputusan akhir untuk itu. Proses legislasi menggunakan model parlementer karena legislasi merupakan “three-chamber” legislative process atau tripartit, yaitu melibatkan “kamar” presiden-eksekutif dan dua kamar parlemen (DPR dan DPD) untuk RUU tertentu (Pasal 22D UUD 1945).

Legislasi bermodel parlementer ini terdiri dari dua macam. Pertama, tafsir tekstual dan executive heavy yang menjadikan keputusan untuk menghasilkan UU hanya sebagai domain persetujuan bersama Presiden dan DPR. Akibatnya, bobot suara Presiden mengungguli bobot suara dua lembaga perwakilan (DPR dan DPD). Kedua, tafsir parlementer. Karena Presiden adalah eksekutif yang didukung koalisi di DPR, maka keputusan menghasilkan legislasi seharusnya jadi domain lembaga perwakilan (DPR-DPD) bersama presiden-eksekutif dengan bobot suara sama di antara ketiga lembaga. Namun kenyataannya, dalam sistem multipartai di Indonesia, koalisi antarpartai politiklah yang dominan, sehingga menghasilkan perspektif parlementer dalam mekanisme legsislasinya. Ketiga, dikaitkan dengan ius constituendum yaitu tafsir legislasi dalam presidensialisme di negara kesatuan. Ciri pokok presidensialisme adalah keterpisahan eksekutif dari legislatif, sehingga bobot suara lembaga perwakilan pada model asymmetric bicameralism, dengan DPD sebagai pelembagaan keterwakilan daerah-daerah provinsi (Pasal 22C UUD 1945), seharusnya dimenangkan oleh kepentingan daerah daripada bobot suara eksekutif; lebih-lebih apabila legislasi itu mengenai kepentingan daerah-daerah yang merupakan faktor agregat pada negara kesatuan.

Dengan menggunakan tiga tafsir tersebut, pola pembahasan dengan tripartit memang mempunyai kelemahan atau cacat tersembunyi dalam pelaksanaannya, sehingga justru menjauhkan dari prinsip bikameral yang efektif.

Kombinasi antara DPR dan DPD pada sistem multipartai akan dapat menimbulkan kesulitan tersendiri. Pertama, akan muncul ketegagan yang cukup lama antara DPR dan DPD dalam pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Karena kedua lembaga mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui Pemilu. Ketegangan hubungan akan terjadi apabila dalam pembahasan sebuah RUU, fraksi-fraksi di DPR berbeda pendapat demikian pula dengan DPD.

Posisi DIM tripartit sebagaimana Putusan MK Perkara Nomor 92/PUU-X/2012, tidak benar-benar dilaksanakan, sehingga DIM dalam pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan daerah seperti terjadi dalam pembahasan RUU tentang Desa, RUU tentang Pemerintahan Daerah,  dan RUU tentang Pemilukada, sebagaimana penelusuran yang dilakukan oleh penulis, maka pembahasan DIM adalah DIM Fraksi di DPR, DIM dari DPD, dan DIM dari Pemerintah.

Kedua, sebagai tindak lanjut dari permasalahan pertama adalah kesulitan untuk melakukan konsolidasi antara DPR dan DPD dalam pembahasan sebuah RUU. Konsolidasi ini menjadi kunci dalam hubungan antarkamar dalam sistem bikameral sebagaimana yang disampaikan oleh George Tsebelis dan Jeannette Money, bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan hubungan antarkamar dalam sistem bikameral, konsolidasi dalam pembahasan memegang kunci utama. George Tsebelis dan Jeannete Money mengistilahkannya dalam bentuk “bargaining” antarkamar, dengan dua model 1) apabila seluruh infornasi (DIM) lengkap; dan 2) apabila informasi (DIM) tidak lengkap. Sistem multipartai seperti Indonesia justru akan menjebak pada posisi DIM yang tidak lengkap karena adanya ketegangan antarfraksi di DPR atau ketegangan antara fraksi dengan DPD dan/atau pemerintah. Dengan beragamnya kepentingan partai tersebut, akan mempertajam perbedaan yang terjadi selama proses legislasi.

Hal ini dapat terlihat dari kinerja legislasi selama periode 2014-2019. Prolegnas ditetapkan sebanyak 189 RUU untuk jangka waktu 5 tahun. Hasilnya terdapat 38 UU yang disahkan. Dari 38 RUU Prioritas yang dihasilkan tersebut, terdapat 4 RUU Prioritas tambahan yang tidak masuk dalam Daftar Prioritas di tahun RUU itu disahkan. Keempat RUU itu adalah Revisi pertama UU MD3 dan 3 RUU yang disahkan di penghujung periode 2014-2019 yakni: Revisi Ketiga UU MD3, Revisi UU KPK, dan Revisi UU Perkawinan.

Capaian RUU Prolegnas Prioritas banyak dibantu oleh kebiasaan DPR mengulang-ulang revisi. Revisi UU MD3 sebanyak 3 kali, revisi UU tentang Pilkada 2 kali, dan revisi UU tentang Pemerintahan Daerah sebanyak 2 kali. Penamaan di daftar prolegnas untuk revisi-revisi itu menjadi 7 UU baru, padahal yang semula hanya 3 RUU saja.

Kinerja legislasi setiap tahun pun tak pernah mampu merampungkan lebih banyak dari 10 RUU yang disahkan, kecuali di tahun 2019. Bahkan ada 3 Komisi di DPR yang sepanjang 5 tahun bekerja tak menghasilkan 1 pun RUU Prioritas (Komisi III, Komisi VI dan Komisi VII). Komisi VI bahkan tanpa satupun RUU yang dihasilkan (Kumulatif dan Prolegnas Prioritas).

Persoalan ketiga adalah tindak lanjut dari adanya persoalan kedua diatas, dalam sistem dua kamar dengan model multipartai seperti Indonesia akan terjadi konsolidasi berlapis mulai dari konsolidasi di masing-masing lembaga baik DPR dan DPD, kemudian konsolidasi antarkamar, dan setelahnya konsolidasi antara lembaga legislatif dan Presiden. Pola konsolidasi ini berpotensi menyulitkan dan memperlama proses legislasi dan penyelesaikan suatu materi rancangan undang-undang. Tidak hanya itu, sekiranya tidak ditemukan jalan keluar, proses legislasi akan mengalami kebuntuan (deadlock).

Putusan MK terutama Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 menetapkan bahwa pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD dan kepentingan daerah dilaksanakan dengan tripartit. Namun jalinan dan konsepsi pembahasan bersama secara tripartit tidak dijelaskan lebih lanjut. Memang sebagai penafsir konstitusi, fungsi MK adalah negative legislation, sehingga diperlukan kembali legislative review terkait dengan UU P3 2014 untuk disesuaikan dengan putusan MK tersebut.

Dalam hal ini, Putusan MK tersebut berpotensi menimbulkan cacat tersembunyi, menilik multipartai dalam sistem presidensiil yang dianut oleh Indonesia. Konsolidasi yang berlapis dalam setiapa tahapan legislasi akan makin memperpanjang proses legislasi yang ada.

Saldi Isra mengutip pandangan dari Kevin Evans, menyatakan jika konstitusi tidak memberi hak untuk mengubah dan menolak rancangan undang-undang, menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan Majelis Tinggi dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Sebagai bagian dari mekanisme checks and balances dalam fungsi legislasi, penundaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Tinggi untuk mengkoreksi rancangan undang-undang yang teah disetujui Majelis Rendah.

Bahkan pada praktek Senat di Amerika memunculkan filibuster yaitu praktik politik dimana Senat Amerika Serikat secara sadar dan bersama-sama memainkan peran politiknya dengan menunda-nunda pembahasan dan persetujuan sebuah rancangan undang-undang dengan maksud agar tujuan politik sejumlah anggota Senat dapat terakomodasi.

Berdasarkan penjelasan diatas, DPD yang dirumuskan dalam amandemen UUD 1945 tidak diberikan wewenang untuk mengubah dan menolak rancangan undang-undang. Tidak hanya itu, DPD pun tidak mempunyai weenang untuk menunda pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan presiden. Satu-satunya kesempatan DPD untuk terlibat aktif dalam pembahasan rancangan undang-undang adalah sebagaimana Putusan MK perkara 92/PUU-X/2012 dengan menyusun DIM dan menyampaikan DIM serta membahas DIM.

Apabila memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam proses legislasi sangat berpotensi menjawab kekhawatiran terhadap produk legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya. Tidak hanya kualitas, secara kuantitas jumlah undang-undang yang dihasilkan DPR dan pemerintah juga kian menurun. Dengan fakta itu, memberikan kewenangan legislasi lebih dari apa yang dilakukan saat ini kepada DPD, berpotensi menghasilkan jumlah undang-undang yang lebih banyak. Apalagi fakta lain yang terbentang di hadapan kita semua, anggota DPR lebih banyak menghasilkan waktu mereka pada fungsi-fungsi lain di luar fungsi legislasi, terutama pengawasan dan fungsi rekrutmen pejabat publik.

Sementara itu, jika ada keraguan bahwa proses legislasi yang melibatkan dua kamar, DPR dan DPD, serta ditambah dengan pemerintah akan menjadikan proses tidak efisien, tidak perlu menjadi kekhawatiran berlebihan. Selain bisa dirancang desain yang menghentikan upaya menunda-nunda seperti filibuster di Amerika Serikat, proses pembahasan yang dipraktikkan di DPR saat ini harus diperbaiki. Proses yang dimaksudkan di sini lebih pada pengalaman tidak terintegrasinya Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) DPR. Selama ini, dalam pembahasan dengan pemerintah, DPR selalu datang dengan DIM setiap fraksi, dengan pola itu posisi pemerintah dalam pembahasan DIM bahkan dihadapkan dengan DPR sebagai institusi, tapi lebih dihadapkan dengan fraksi-fraksi di DPR. Padahal, merujuk konstruksi Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, pembahasan bersama dilakukan oleh DPR dan pemerintah, bukan antara pemerintah dan fraksi-fraksi. Sejauh ini pelambatan proses legislasi lebih pada ketiadaan mekanisme pembahasan yang efisien.

Hal ini lebih disebabkan karena proses legislasi yang saat ini dilakukan adalah salah satu warisan dari pola legislasi parlementer yang diatur dalam UUDS 1950. UUD 1945 tidak mengatur teknis proses legislasi, sehingga dimandatkan untuk membuat undang-undang yang mengatur tata cara pembentukan undang-undang.

Dalam kontruksi pemaknaan ulang hubungan kewenangan DPR dan DPD untuk melaksanakan fungsi legislasi ada baiknya diatur rinci dalam konstitusi apabila dialakukan amandemen atau merincinya dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Di tengah keterbatasan tersebut, negara Jerman dapat dijadikan contoh yang signifikan dalam rangka penguatan bagi DPD terutama sekali menyangkut hubungan kerja antara DPR dan DPD. Meskipun kewenangan DPD dapat dikatakan sangat terbatas dibandingkan dengan kewenangan Bundesrat sebagai second chamber pada parlemen negara Federal Jerman.

Negara Federal Jerman dalam kategori yang dikemukakan Sartori, masuk dalam kategori weak bicameralism karena Bundesrat sebagai second chamber pada Parlemen negara Federal Jerman tidak memiliki kewenangan hak veto absolut dan hak veto dari Bundesraat dapat diabaikan dengan 2/3 suara anggota Bundestag (fisrt Chamber). RUU yang diharuskan mendapatkan persetujuan dari Bundesraat juga dibatasi hanya mengenai RUU yang berkaitan dengan daerah, konsepsi ini sama dengan Indonesia, namun kewenangan DPD lebih lemah karena tidak terlibat dalam pengambilan putusan suatu RUU yang berkaitan dengan daerah.

Bundesrat memang dikenal sebagai one of the strongest second chambers in the world, karena dalam praktiknya Bundesrat memilkki kewenangan menyetujui lebih dari separuh RUU yang diajukan karena RUU tersebut berkaitan dengan kepentingan daerah. Dikemukakan bahwa 55% sampai dengan 60% RUU yang diajukan memerlukan persetujuan Bundesraat. Di negara Jerman, RUU usulan pemerintah diajukan pertama kali kepada Bundesraat selaku kamar kedua. Hal mana berbeda dengan praktek di Indonesia, bahwa RUU yang diajukan oleh Presiden meskipun berkaitan dengan daerah tetap disamapaikan terlebih dahulu kepada DPR. Bahkan, karena tarik menarik tersebut, DPD sering menyusun RUU yang sama yang sudah diajukan oleh Pemerintah, sebagai contoh RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Desa.

Dalam praktik di Jerman setelah Pemerintah menyampaikan RUU kepada Bundesrat, selaku kamar kedua yang akan melakukan pengkajian terhadap RUU usulan Pemerintah sebelum RUU tersebut diajukan kepada kamar pertama (Bundestag), dan amandemen yang dilakukan oleh kamar kedua menjadi pertimbangan utama bagi Bundestag selaku kamar pertama.

Pola yang diterapkan di Jerman ini seharusnya dapat diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, dimana pembahaan DIM yang ditetapkan oleh MK dalam Putusannya, seharusnya diberikan tenggat waktu tertentu. Dalam UU P3 2011, yang diatur adalah tenggat waktu pembahasan yaitu 60 hari bagi DPR dan Pemerintah belum ada pengaturan terkait tenggat waktu untuk DPD.

Demikian pula, DPD juga perlu meningkatkan kualitas pengambilan putusannya terkait dengan pendapat DPD terhadap sebuah RUU. Mekanisme kerja di DPD juga perlu disederhanakan untuk mengikuti perkembangan pembahasan dan lebih meningkatkan kapasitas substansi dari DPD. Sosialisasi dari keputusan DPD juga harus dilakukan, bahkan keputusan tersebut harus dipublikasikan agara semua pihak terutama konstituen dapat mengetahui kualitas hasil kerja DPD.

Walaupun DPD tidak memiliki kewenangan menudna atau memberikan keputusan sebagaimana praktik di beberapa parlemen, tetapi DPD dapat melakukan perbaikan dalam usulan RUU yang diajukan, sehingga RUU usulan DPD menjadi pertimbangan. Hal mana yang pernah dilakukan oleh DPD terhadap RUU tentang Kelautan. Setelah RUU tentang Kelautan menjadi usul Pemerintah pada Prolegnas 2005 dan tidak dapat diselesaikan, kemudian berganti menjadi usulan DPR pada Prolegnas 2007-2008 dan tidak dapat diselesaikan, pada akhirnya DPD mengambil peran untuk menyelesaikan RUU tentang Kelautan tersebut pada tahun 2010 sampai menjadi UU Nomor 32 Tahun 2014.

Begitu pula pada waktu pembahasan RUU tentang Desa, butir-butir pemikiran tentang pengaturan desa dalam kosep usul RUU inisiatif DPD menjadi bahan utama dalam pembahasan RUU tersebut. Oleh karenanya, pandangan-pandangan yang disampaikan dalam pembahasan berpedoman pada konsep pembangunan desa yang terdapat dalam usul RUU inisiatif DPD RI yang dilengkapi dengan kajian serta hasil interaksi DPD RI dengan masyarakat dan daerah.

Posisi DPD RI pada pembahasan undang-undang ini bersama DPR dan Pemerintah tentunya memiliki peran yang penting, hal ini dapat dilihat dari tidak sedikit pemikiran DPD, serta jalan tengah yang coba ditawarkan terkait dengan alokasi dana desa dan konsep desa adat dan desa dinas oleh DPD pada proses lobi diterima oleh pihak DPR dan Pemerintah.

Oleh karena itu, melihat praktik yang sudah pernah ada, penulis mengusulkan agar hubungan antara DPR dan DPD dalam pembentukan UU harus diatur sesuai dengan UUD 1945, yaitu bahwa seluruh RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah dibahas bersama antara DPR dan DPD, akan tetapi hal tersebut dilakukan di dalam komisi bersama dengan jumlah anggota yang seimbang antara wakil DPR dan DPD (conference committee), dan hasil dari pembahasan tersebut disampaikan kepada masing-masing kamar, dimana persetujuan terakhir tetap berada pada DPR. Dalam hal RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD tersebut dibahas antara DPR dengan Pemerintah, maka DPD memberikan pandangan dan pendapat terkait dengan RUU yang sedang dibahas.

Mekanisme conference committee merupakan cara agar efisiensi pengambilan keputusan dapat tercapai. Dalam praktiknya, di negara Federal Jerman mekanisme conference committee jarang terjadi. Di negara ini, setelah hasil persetujuan bersama dalam conference committee ditolak oleh salah satu kamar maka RUU menjadi batal. Tidak ada mekanisme untuk melihat kembali sehingga dimungkinkan RUU tersebut disetujui. Di Amerika Serikat, setelah hasil persetujuan bersama dalam conference committee  ditolak oleh salah satu kamar, maka mekanisme selanjutnya adalah dapat berupa dibentuk conference committee  baru atau diajukannya RUU baru.  Dikaitkan dengan DPD, yang tidak memiliki hak menolak, maka tentu saja mekanisme ini menjadi penting untuk mengaspirasikan kepentingan daerah. Sebab jika hanya dalam bentuk pertimbangan dan pendapat tertulis, maka tentu saja tidak akan tergali apa sebenarnya yang menjadi argumentasi dari DPD terhadap sebuah RUU.

 

Pertentangan kepentingan DPR dan DPD dalam proses inisiasi, pembahasan dan penetapan RUU menjadi Undang- undang tentu saja akan muncul namun karena kewenangan DPD yang terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan otonomi daerah dan hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan penambangan keuangan pusat dah daerah, pajak, pendidikan dan agama, maka tidak semua RUU yang akan disahkan dan ditetapkan secara bersama-sama sehingga proses legislasi lebih effektif dan serta sesuai dengan fungsi perwakilan yang diemban oleh DPR dan DPD.

Desain dengan format maksimalis terbatas ini yang paling rasional yang dapat diambil. Hal ini dilakukan mengingat keputusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah menempatkan DPD secara kelembagaan yang setara dengan DPR dan Presiden dan memiliki kewenangan yang sama bidang legislasi, meskipun belum sampai pada pengambilan keputusan untuk persetujuan atas RUU tertentu.

Penggunaan pilihan desain dengan format maksimalis terbatas ini tidak berimplikasi langsung terhadap agenda Amandemen UUD yang mendesak, melainkan pentingnya revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang UU MD3 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang UU P3 sebagai wujud pelaksanaan amanat dari Putusan MK Nomor 92/PUU.X/2012.

Desain format maksimalis terbatas merupakan pilihan yang rasional dalam waktu dekat ini dalam rangka penguatan fungsi DPD dalm bidang legislasi. Sedangkan Amandemen UUD 1945 sebagai langkah selanjutnya karena Amandemen UUD 1945 akan menimbulkan perdebatan antara yang pro dan kontra yang berakibat perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sehubungan dengan itu DPD perlu memperkuat diri dengan mempersiapkan dan meningkatkan kapasitas individual, kolektif dan institusional dan secara eksternal perlu membangun komunikasi yang intens dan membangun hubungan yang positif dengan lembaga negara lain terutama DPR dan Presiden. Memperkuat Kewenangan Fungsi legislasi DPD juga perlu dilakukan terus menerus dengan mengusulkan Amandemen UUD 1945 agar DPD sebagai lembaga negara yang memiliki kedudukan yang kuat secara formal-struktural dan juga kuat secara substansial-fungsional.

Dikutip dari Buku “Legislasi dalam Perspektif Demokrasi”.