KEBIJAKAN HARGA OBAT DI INDONESIA: UPAYA MENJAMIN AKSES OBAT UNTUK MASYARAKAT

Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes.

Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Kemudahan akses terhadap obat menjadi salah satu penentu keberhasilan pelayanan kesehatan. Jika masyarakat tidak dapat mengakses obat, masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk sehat (MSH, 2012). Akses obat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan harga obat. Biaya obat seringkali memerlukan dana yang cukup besar dan dapat menjadi masalah dalam sistem pelayanan kesehatan (WHO, 2010, Bigdeli et al., 2013).

Sumber dana untuk pelayanan kesehatan di suatu negara sangat tergantung pada sistem kesehatan yang diterapkan. Sebagai contoh, pada beberapa negara maju, seperti di Inggris, dana pelayanan kesehatan berasal dari potongan pajak. Warga negara Inggris dapat memperoleh pelayanan kesehatan dan obat  secara gratis. Di Turkey dan Perancis, sumber pembiayaan kesehatan berasal dari asuransi kesehatan pemerintah yang dananya diperoleh melalui premi dari warga negara. Terdapat pula dana pembiayaan kesehatan dan obat harus dikeluarkan langsung oleh masyarakat dengan membayar dari kantong sendiri (out of pocket system), seperti yang banyak diterapkan di negara berkembang, di negara maju seperti Amerika Serikat.

Di Indonesia, pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sumber dana pembiayaan kesehatan saat ini berasal dari dua sistem, yaitu dari potongan pajak untuk membiayai masyarakat yang tidak mampu membayar premi dan premi asuransi langsung dari masyarakat baik secara kolektif oleh institusi maupun secara mandiri oleh individu. Perbedaan sistem dan pembiayaan kesehatan akan berpengaruh terhadap kebijakan obat. Pemerintah harus menggunakan sumber dana yang terbatas seoptimal mungkin, termasuk untuk penyediaan obat. Namun, pada kenyataannya, implementasi beberapa kebijakan mungkin belum berjalan optimal. Keterbatasan dana JKN dapat menjadi kendala sisi suplai di sektor publik, persepsi pasien tentang mutu obat, dan obat tidak tersedia. Sebagian masyarakat Indonesia yang diasuransikan dapat mengakses layanan dan mendapatkan obat gratis di tempat perawatan, sementara sebagian lain kemungkinan tidak mendapatkan obat sama sekali atau harus membayarnya, karena obat gratis tidak tersedia.

Agar masyarakat mendapatkan kepastian akses obat dalam pelayanan kesehatan, pemerintah menerapkan kebijakan untuk produk kefarmasian (Gilson, 2012). Harga obat sangat terkait dengan akses masyarakat terhadap obat. Anggaran yang dimiliki terbatas, semakin rendah harganya, semakin banyak obat yang dapat dibeli, dan dengan demikian semakin banyak pasien yang dapat diobati, dengan jumlah uang yang sama.

Menentukan harga yang “fair” atau wajar merupakan hal yang harus dicapai dalam mengatur harga obat. Harga wajar bukan berarti hanya harga murah, namun harga yang dapat memberikan keseimbangan baik dari sisi produsen maupun pengguna. Implementasi kebijakan obat dapat dilakukan pada berbagai tahap rantai pasok, mulai dari produksi sampai distribusi, baik yang terkait distributor besar (wholesaler) maupun kecil (retailer). Kebijakan obat yang efektif pada setiap tahapan tersebut dapat mempengaruhi harga obat (WHO, 2020).

 

Perjalanan panjang situasi harga obat di Indonesia

Cerita tentang harga obat mahal di Indonesia adalah isu yang paling sering terdengar melalui media massa. Namun, sejatinya, harga obat di Indonesia memiliki cerita yang sangat berwarna, dipengaruhi oleh sistem pelayanan kesehatan dan kebijakan obat yang berlaku dari waktu ke waktu. Sejak 1 Januari 2014, Indonesia mulai menerapkan JKN. Tujuan utama JKN adalah untuk pemberian pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk, termasuk warga negara asing yang tinggal di Indonesia juga wajib jadi peserta BPJS-K (Perpres, 2013). Untuk memahami dinamika harga obat yang sangat berwarna, bagian berikut akan menggambarkan perjalanan kebijakan harga obat di Indonesia sebelum dan setelah penerapan JKN.

 

Harga obat sebelum penerapan sistem JKN

Sejak sebelum penerapan JKN, pemerintah telah memberikan perhatian dan memiliki komitmen yang cukup besar terhadap kebijakan obat di Indonesia. Namun demikian, sebelum 2014, implementasi kebijakan harga obat di lapangan masih belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari berbagai hasil studi tentang harga obat di Indonesia, yang hasilnya menunjukkan harga harga obat, baik obat generik berlogo (OGB), yaitu obat generik dengan international nonproprietary name), obat nama dagang (obat generik bermerek), dan obat paten masih sangat tinggi dibanding harga internasional (Tabel 1).

 

Tabel 1. Perbandingan harga obat di Indonesia

dengan harga referensi internasional sebelum penerapan JKN

Negara

Sektor Pemerintah

Sektor Swasta

OGB termurah

OND

OGB termurah

OND

Indonesia

(WHO et al., 2004)

2,54

21,80

2,78

22,78

Malaysia

(Babar et al., 2007)

1,09

2,41

6,77

16,35

Thailand

(Sooksriwong et al., 2009)

2,55

4,36

3,30

11,60

Philippines

(Batangan, 2005)

6,40

15.31

5,64

17,28

Vietnam

(Nguyen et al., 2009)

11,41

46.58

8,30

44,61

Shandong, China

(Sun et al., 2008)

1,68

0,77

Hubei, China

(Yang et al., 2009)

1,04

11,25

0,68

19,94

Shanghai, China

(Ye, 2006)

2,03

5,64

1,77

8,76

Shaanxi

(Shimin and Yu, 2010)

0,97

1,53

8,36

Tajikistan

(Anvarova et al., 2005)

2,28

2,08

Keterangan: OGB = obat generik berlogo, OND = obat nama dagang

 

Rasio harga tiap negara pada data tersebut mengacu pada harga referensi internasional yang dikelola oleh Management Sciences for Health (MSH), sebuah advisory organization independen yang berpusat di Cambridge, Inggris, dengan misi utama mendukung sistem kesehatan yang lebih kuat agar dapat memberikan dampak kesehatan yang lebih besar. Perhitungan rasio dilakukan dengan membandingkan harga pengadaan di suatu negara dengan harga median pengadaan yang tercantum dalam daftar harga indikator dari MSH. Rasio lebih dari satu menggambarkan harga obat yang lebih mahal dibanding harga referensi internasional. Sebagai contoh, rasio harga obat di Indonesia sebesar 22,78 berarti harga obat tersebut 22,78 kali lipat dibanding harga referensi internasional (WHO and HAI., 2008) .

Mengacu pada hasil studi harga obat dari World Health Organization (WHO) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbangkes) pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan kebijakan harga obat untuk pengadaan pemerintah yang terfokus pada OGB. Penerapan kebijakan tersebut membuat penurunan signifikan harga OGB pada tahun 2006-2010 dibanding dengan harga sebelum tahun 2005. Namun demikian, karena kebijakan tersebut hanya mengatur OGB, harga obat nama dagang dan paten masih tetap sangat tinggi.

Studi Balitbanngkes pada 2005 menunjukkan bahwa pengaturan harga eceran tertinggi tidak efektif (Pichetti et al.). Sebagian besar apotek menjual obat dengan harga lebih tinggi dari HET yang ditetapkan pemerintah. Variasi harga antara OGB dan obat nama dagang sangat besar, ada yang melebihi 20 kali lipat (Siahaan, 2006).

Sebelum penerapan JKN, kebijakan harga obat di Indonesia masih terfokus untuk sektor pemerintah dan pada OGB. Padahal, sektor swasta dan obat non-OGB, termasuk obat paten, juga memiliki kontribusi signifikan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia (Wang et al., 2009).

Pada 2009, Health Action International (HAI) melakukan survei harga antibiotik siprofloksasin (ciprofloxacin) di 66 negara. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa harga siprofloksasin dengan nama dagang di Indonesia paling mahal di antara negara yang disurvei. Sementara itu, untuk OGB, harga ciprofloxacin di Indonesia berada pada urutan keenam paling murah (HAI, 2009). Studi HAI lain menunjukkan bahwa lima besar negara dengan harga insulin mahal di dunia adalah Austria, Amerika Serikat, Kostarika, Kongo, Palestina, dan Indonesia menduduki urutan keenam termahal (HAI, 2010).

Mekanisme penetapan harga obat nama dagang (generik bermerek) dan obat paten ditentukan oleh mekanisme pasar. Akibatnya, harga obat nama dagang di Indonesia menjadi tinggi, baik di sektor publik maupun swasta (Anggriani et al., 2013). Sebelum JKN, pasien harus membayar secara mandiri (out of packet) untuk mendapatkan obat.  Free-pricing system untuk obat nama dagang dan paten di Indonesia sebelum JKN menyebabkan harga obat tersebut mahal.

Penyerahan harga obat pada mekanisme pasar tidak dapat menurunkan harga obat, karena pasar obat bersifat asimetris dengan informasi yang hanya dikuasai oleh satu pihak dan konsumen yang tidak memiliki informasi yang cukup. Karena karakteristik ini, harga obat terkadang menjadi lebih mahal dibanding nilai yang seharusnya. Obat bermerek lebih mahal karena pasien harus membayar untuk mempromosikan merek obat. Salah satu caranya adalah dengan mengiklankan kepada pasien (hanya diperbolehkan untuk obat bebas), untuk menciptakan citra yang meyakinkan mereka bahwa merek tertentu adalah produk berkualitas tinggi, sehingga orang mau membayar uang ekstra. Untuk obat resep, biaya promosi tidak langsung kepada institusi pembeli atau dokter pengguna dapat meningkatkan harga obat.

 

Harga obat setelah penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Dengan pemberlakuan sistem JKN sejak 1 Januari 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan perubahan kebijakan obat yang signifikan, mulai dari yang terkait aspek seleksi, pengadaan dan penggunaan. Seleksi obat JKN dilakukan melalui pengembangan dan penggunaan Formularium Nasional (Fornas). Formularium Nasional disusun oleh komite nasional independen yang berada di bawah Kemenkes. Seleksi obat Fornas didasarkan pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), pola penyakit, dan kebutuhan terapi di Indonesia. Penerapan farmaoekonomi dilakukan untuk seleksi beberapa produk obat yang memiliki harga mahal, jumlah produk masih terbatas, namun diperlukan dalam terapi.  

Kemenkes menetapkan harga untuk proses lelang atau negosiasi, yang biasa dikenal dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Penetapan HPS ini cukup menarik dan menjadi isu penting dalam diskusi harga obat di Indonesia. Kemenkes menyatakan bahwa penetapan HPS dilakukan dengan memperhatikan harga referensi internal maupun eksternal. Untuk beberapa item obat yang tidak memiliki data harga referensi internasional (International Reference Prices, IRP), Kemenkes menggunakan metode penetapan harga mark up dari harga produksi, yang disebut cost-plus pricing. Aspek lain yang terkait pengadaan dan lelang harga adalah Rencana Kebutuhan Obat (RKO), yang mencerminkan volume obat yang dibutuhkan di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes). Keakuratan RKO sangat berpengaruh pada proses lelang, negosiasi, serta implementasi pengadaan obat di era JKN.

Setelah menetapkan HPS, Kemenkes menyerahkan HPS dan RKO ke Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Data tersebut kemudian digunakan untuk proses penetapan harga e-Katalog. LKPP menggunakan dua mekanisme, yaitu tender terbuka dan negosiasi. Lelang harga dan negosiasi dimaksudkan untuk menetapkan harga pengadaan obat yang disepakati oleh kalangan perusahaan farmasi dan platform e-Katalog digunakan untuk proses pengadaan oleh faskes yang berkontrak dengan BPJS Kesehatan, sebagai penyelenggara JKN. Item setiap obat dalam e-Katalog mengacu pada zat aktif yang disebutkan di Fornas.

HPS dan RKO dari Kemenkes dipublikasikan di situs LKPP untuk keperluan pengadaan lelang, tidak untuk diakses publik. Semua perusahaan farmasi, baik perusahaan Badan Usaha Milik Negara/BUMN maupun swasta (Perusahaan Milik Dalam Negeri dan Perusahaan Modal Asing) yang memiliki produk obat sesuai dengan HPS dan RKO yang ditetapkan, diundang untuk berpartisipasi dalam lelang atau negosiasi harga. Sebagai syarat, produk obat tersebut telah memiliki nomor izin edar (NIE), yang berarti telah terdaftar di Badan POM. Penetapan HPS dan RKO dari Kemenkes digunakan oleh industri farmasi sebagai dasar penetapan harga obat dalam proses lelang atau negosiasi yang diselenggarakan LKPP.

Lelang harga dilakukan untuk obat yang memiliki lebih dari tiga produsen. Harga dasar (HPS) bervariasi antarkawasan, mempertimbangkan jarak dari ibu kota dan kondisi infrastruktur. Kemenkes membagi 34 provinsi di seluruh Nusantara menjadi empat kawasan. Perusahaan farmasi menawar harga untuk setiap provinsi di tingkat nasional melalui LKPP. Hanya satu pemenang yang ditetapkan untuk satu item di setiap provinsi. Namun, satu perusahaan dapat memenangkan beberapa penawaran di satu atau lebih provinsi.

Lelang harga pada sistem e-Katalog dilakukan secara elektronik dan sangat terbuka, sehingga transparan. Item obat yang dilelang hanya item obat yang ada permintaannya dari faskes, sehingga dapat ditetapkan RKO maupun HPS-nya oleh Kemenkes Dengan mekanisme seperti itu, obat-obat Fornas yang tidak ada permintaan dari faskes (sehingga tidak memiliki RKO), maupun yang tidak ada perusahaan farmasi yang mengajukan penawaran harga tidak dapat tampil di e-Katalog.

Jika obat hanya disediakan oleh tiga produsen atau kurang, LKPP dan Kemenkes melakukan negosiasi langsung. Proses negosiasi dilakukan secara tertutup, menggunakan rentang harga yang telah ditentukan. Selanjutnya, hanya item obat yang telah lulus penilaian administrasi, teknis, dan memberikan harga terendah yang diterbitkan dalam e-Katalog. Setelah proses lelang dan negosiasi berhasil dilaksanakan, item dan harga obat yang telah disetujui ditampilkan pada sistem e-Katalog. Harga dari pemenang lelang atau negosiasi yang ditampilkan pada e-Katalog sudah termasuk biaya distribusi untuk ke empat kawasan di Indonesia dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Dampak penerapan kebijakan harga obat

Dampak penerapan kebijakan harga obat pada industri farmasi.

Penurunan harga obat dapat dicapai dengan meregulasi harga obat. Namun, di sisi lain, kebijakan pengaturan harga obat tersebut dapat pula memberikan dampak yang tidak diinginkan. Seiring dengan penurunan harga obat, keuntungan yang diperoleh kalangan industri farmasi akan berkurang (Sood et al., 2009). Berkurangnya pendapatan industri farmasi dapat mengurangi belanja perusahaan untuk melakukan inovasi atau penelitian dan pengembangan (R&D) (Vogel, 2004, Golec and Vernon, 2006).

Sampai saat ini, sistem disinsentif untuk perusahan farmasi yang tidak memenuhi komitmen dan memiliki rekam jejak kurang baik tidak mendapat punishment, bahkan masih dapat mengikuti proses lelang e-Katalog pada tahun berikutnya. Hal ini menyebabkan beberapa perusahaan yang memenangkan lelang e-Katalog dengan mengandalkan harga murah leluasa untuk tidak memenuhi komitmen mereka, sehingga obat tidak tersedia di tingkat faskes yang menyebabkan pasien tidak memperoleh obat sesuai kebutuhan medis. Di sisi lain, beberapa indusri farmasi yang mengandalkan data RKO dapat mengalami kerugian, karena faskes memesan obat lebih rendah dibanding RKO yang disampaikan (TNP2K., 2020).

RKO akan penting jika ada sanksi dari kedua belah pihak karena industri tidak memberikan obat sesuai permintaan RKO, dan fasilitas pelayanan tidak melakukan pengadaan sesuai dengan RKO. Namun dalam praktiknya, tampaknya RKO belum menjadi komponen sentral untuk evaluasi, untuk proses sistem insentif dan disinsentif. Kurangnya kapasitas penegakan kebijakan dapat mempengaruhi pencapaian tujuan kebijakan (Russo and Mcpake, 2010).

Pada konteks Indonesia, berhentinya produksi obat tertentu karena penetapan harga dengan sistem lelang berbasis HPS dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, dari sisi pemerintah, perlu dievaluasi apakah cara penetapan HPS sudah optimal. Apakah semua informasi untuk menetapkan harga untuk masing-masing produk telah masuk ke dalam formula. Jika perhitungan sudah dilakukan menyeluruh dengan informasi yang lengkap, kedua, kemungkinan yang terjadi adalah masalah kapasitas produksi dan efisiensi dari masing-masing perusahaan farmasi pemenang e-Katalog. Perlu dicatat, pada penerapan HPS dengan metode cost plus pricing sering menjadi faktor penyebab masalah antara pembuat kebijakan dan industri farmasi.

 

Dampak penerapan kebijakan harga obat pada ketersediaan

Pada proses negosiasi, kesepakatan harga tidak selalu tercapai. Demikian pula pada lelang harga, jika di antara item obat yang dilelang ada yang memiliki HPS kurang menarik, item obat tersebut tidak akan mendapat penawaran dari industri farmasi, sehingga terjadi gagal lelang. Kegagalan dalam negosiasi dan/atau lelang ini membuat sejumlah item obat tidak masuk dalam e-Katalog, walau pada tahun-tahun sebelumnya mungkin masuk. Dengan demikian, pasien terancam untuk tidak memperoleh obat sesuai kebutuhan medisnya.

Harga yang murah tentu merupakan pencapaian pada penerap-an e-Katalog. Namun, harga yang terlalu murah—ditambah tidak berjalannya sistem disinsentif—terbukti berdampak terhadap ketersediaan obat di tingkat faskes. Kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan mengungkap bahwa obat tidak tersedia di faskes umumnya terjadi karena penolakan pesanan oleh perusahaan farmasi pemenang e-Katalog, obat yang datang tidak sesuai pesanan, dan keterbatasan stok.

Hal lain yang berpengaruh terhadap ketersediaan obat adalah pemenuhan pesanan oleh perusahaan farmasi pemenang e-Katalog. Beberapa item obat dengan konten teknologi yang rendah diketahui harganya terlalu rendah. Perusahaan yang melakukan predatory pricing tersebut biasanya hanya bersedia memasok obat item obat yang pasti membuat rugi itu sampai sejumlah tertentu, sehingga berpotensi menyebabkan kekosongan obat di tingkat faskes. Item obat lain dalam e-Katalog yang pemenuhan pesanannya rendah adalah item obat yang beda harganya dengan harga regular relatif lebar, harga regular lebih mahal (TNP2K., 2020). Jika e-Purchasing yang tidak dipenuhi, seperti yang terjadi di beberapa puskesmas DKI Jakarta beberapa item obat akan mengalami kekosongan. Puskesmas tidak dapat melakukan lelang manual, karena tidak memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab pengadaan obat. Akbibatnya pelayanan pasien terhambat dan meningkatkan jumlah rujukan ke rumah (Sulistiyono, 2020).

 

Dampak penerapan kebijakan harga obat pada kualitas obat

Pada pelaksanaan program jaminan kesehatan untuk mencapai cakupan semesta di beberapa negara terjadi peningkatan komitmen politik untuk menjamin akses obat. Hal ini menyebabkan ditetapkannya kebijakan pengadaan yang bertujuan untuk menurunkan harga obat.  Akibatnya, kalangan perusahaan farmasi yang berorientasi laba lalu melindungi margin mereka dengan memangkas biaya atau menarik diri dari pasar yang dinilai kurang menguntungkan. Pemangkasan biaya dapat mengganggu jaminan kualitas, sehingga menyebabkan masuknya obat-obat substandar (Pisani et al., 2019). Guna mencegah penggunaan obat-obat substandar, perlu dilakukan pemeriksaan kualitas obat yang cukup ketat dan hasilnya disampaikan kepada para pemangku kepentingan agar kewaspadaan meningkat dan masyarakat mendapatkan obat yang berkualitas (Singal et al., 2011). Industri farmasi tidak mudah menyesuaikan harga produknya dengan perubahan ekonomi yang terlalu cepat (Rietveld and Haaijer-Ruskamp, 2002).

Rencana strategis pemerintah yang berhubungan dengan harga obat

Untuk konteks Indonesia, penegakan dan regulasi sektor kefarmasian yang mapan dan memadai merupakan hal penting dalam pelaksanaan kebijakan kefarmasian. Dalam laporan kinerja Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan, tiga dari tujuh rencana strategis yang dirumuskan telah mewakili prioritas dalam meningkatkan akses obat dan mendukung transpansi, yaitu: 1) Memastikan ketersediaan obat esensial dan vaksin 2) Menerapkan sistem data dan informasi pengelolaan logistik obat secara terintegrasi antara sarana produksi, distribusi, dan pelayanan kesehatan; 3) Penguatan regulasi sistem pengawasan pre- dan post-market alat kesehatan (Kemenkes, 2020). Dengan demikian, yang diperlukan saat ini adalah memastikan bahwa rencana strategis tersebut dapat diterapkan dalam pelayanan kesehatan secara oprimal.

Peningkatan ketersediaan obat dapat pula dilakukan dengan memperkuat usaha produksi dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah telah membuat aturan untuk mendukung kemandirian sektor industri farmasi melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Farmasi. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah jaminan bahwa masyarakat tetap mendapatkan harga yang wajar dari produk dalam negeri. Studi menunjukkan bahwa terdapat potensi peningkatan harga obat dari produksi dalam negeri (Ewen et al., 2017).

 

Dikutip dari Buku Kebijakan Harga Obat di Indonesia: Upaya Menjamin Akses Obat untuk Masyarakat